Dari Holocaust ke Tragedi 1965: Refleksi Post-Memorialisasi dalam Sastra Jerman dan Indonesia

Banyak orang merasa tergugah ketika mendengar tentang Holocaust, peristiwa yang menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah umat manusia. Namun, mungkin lebih banyak lagi yang merasa bahwa mengenang Holocaust adalah tugas berat dan penuh kesedihan. Generasi sekarang melakukannya, meskipun sering dengan perasaan terpaksa. Kita semua menyadari pentingnya mengenang peristiwa ini untuk menghindari terulangnya tragedi serupa. Namun, ada sesuatu yang stagnan dalam cara kita mengingat Holocaust selama ini. Hal ini tampak jelas dalam pendekatan sastra dan budaya yang digunakan, cara kenangan tersebut dipromosikan, serta dalam rasa dan tekstur narasi yang disajikan kepada kita.


Literatur kontemporer di Jerman, yang mengangkat tema post-memorialisasi, telah lama mencoba mengatasi stagnasi ini. Misalnya, seorang penulis terkenal dalam karyanya mengeksplorasi perjalanan seorang pria dalam mencari identitasnya yang hilang akibat Holocaust. Dia menggunakan narasi kompleks dan fotografi untuk menggali memori, menghadirkan sejarah yang traumatis dengan cara yang mengajak pembaca merenung lebih dalam. Karya tersebut tidak hanya sekadar mengenang, tetapi juga mengajak kita berpikir tentang dampak jangka panjang peristiwa tersebut. Penulis lain dalam novel terkenalnya mengeksplorasi hubungan rumit antara generasi pasca-Perang Dunia II dengan generasi yang terlibat langsung dalam Holocaust. Kisah ini menunjukkan bagaimana literatur dapat menjadi sarana refleksi bagi masyarakat yang masih berjuang memahami masa lalunya.


Seperti di Jerman, Indonesia juga memiliki sejarah kelam yang perlu diingat dan diolah kembali oleh generasi saat ini. Tragedi 1965, dengan segala kekerasan politiknya, meninggalkan luka mendalam dalam memori kolektif bangsa. Salah satu novel Indonesia menggambarkan pengalaman eksil politik yang mencari identitas dan rumah setelah peristiwa 1965. Penulis menggambarkan upaya individu untuk memahami dan berdamai dengan masa lalu yang penuh trauma. Karya-karya seperti ini menunjukkan bahwa ada yang stagnan dalam cara kita mengingat peristiwa masa lalu. Mereka menunjukkan bahwa kita perlu pendekatan baru yang lebih personal dan emosional untuk menghadirkan kenangan tersebut.


Memoar juga menjadi cara yang efektif dalam menghadirkan kembali masa lalu. Seorang penulis Jerman menggunakan ilustrasi, foto, dan narasi untuk menyelidiki sejarah keluarganya yang terkait dengan era Nazi. Ini memberikan perspektif pribadi dan intim tentang dampak Holocaust pada individu dan keluarga. Di Indonesia, memoar seorang pelaku kekerasan memberikan wawasan pribadi tentang keterlibatan dalam kekerasan dan upaya untuk berdamai dengan masa lalu. Buku ini memberikan perspektif intim tentang bagaimana individu berusaha mengatasi masa lalu yang kelam dan mencari pengampunan serta pemahaman.


Namun, pendekatan eksperimental juga penting. Seorang pemenang Hadiah Nobel Sastra menggunakan teknik kolase dalam karyanya untuk menghadirkan fragmen memori yang terpecah-pecah, mencerminkan cara kerja memori itu sendiri. Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas literatur dalam menangani tema kompleks dan traumatis. Di Indonesia, pendekatan eksperimental dalam mengolah memori juga terlihat dalam karya-karya seorang penulis terkenal. Dengan gaya narasi yang unik dan seringkali magis, penulis ini menghadirkan sejarah Indonesia yang penuh dengan kekerasan dan trauma dalam bentuk yang fragmentaris dan simbolis.


Dalam konteks ini, post-memorialisasi berfungsi sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini. Literatur membantu kita menjaga kenangan tetap hidup, bukan hanya sebagai pengingat, tetapi juga sebagai pelajaran bagi generasi mendatang. Ini menunjukkan bahwa meskipun generasi baru tidak mengalami langsung peristiwa tersebut, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memahami dan mengingatnya.. Literasi dan refleksi terhadap sejarah yang kelam, baik di Jerman maupun Indonesia, membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam dan inovatif. Ini bukan hanya sekadar tentang mengingat, tetapi juga memahami dan belajar dari implikasi etis dari peristiwa tersebut.


Sebagai kesimpulan, post-memorialisasi dalam literatur Jerman kontemporer memainkan peran penting dalam mengolah memori kolektif Holocaust. Melalui narasi yang kompleks dan eksperimental, penulis-penulis ini menghadirkan kembali kenangan traumatis dan mengajak pembaca merenungkan dampak sejarah dalam kehidupan modern. Korelasinya dengan Indonesia menunjukkan bahwa setiap bangsa memiliki sejarah kelam yang perlu dihadapi dengan cara yang reflektif dan inovatif.

References

Chudori, L. S. (2012). Pulang. KPG.

Imron, A. (2009). Saya Teroris: Catatan Harian Ali Imron. Republika.

Kurniawan, E. (2002). Cantik Itu Luka. Gramedia.

Pamuntjak, L. (2012). Amba. Gramedia.

Schlink, B. (1997). The Reader. Vintage International.

Sebald, W. G. (2001). Austerlitz. Random House.

Krug, N. (2018). Heimat: A German Family Album. Scribner.

Müller, H. (2009). The Hunger Angel. Metropolitan Books.


Aurora Ashha Azkalliya / 8-6-2024